Sabtu, 04 April 2009

Pandangan Tentang Status Perkawinan Secara Islam Yang Tidak Didaftarkan dan Status Perceraiannya Yang Tidak Didepan Sidang Pengadilan Negeri

Makalah


Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keluarga & Harta Perkawinan
Pada Program Magister Kenotariatan UGM - UNAND
Dosen : Bpk. Bachtiar Abna, SH, SU


Oleh :
KHAIRULNAS







Universitas Gadjah Mada
Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan
Padang
2008




==========================================================================================



MAKALAH
Pandangan Tentang Status Perkawinan Secara Islam Yang Tidak Didaftarkan dan Status Perceraiannya Yang Tidak Didepan Sidang
Pengadilan Negeri


A. PENGANTAR
Ketertiban hukum dalam pelaksanaan negara juga menuntut ketertiban dalam peng-administrasian dalam menjalankan tugas dan kewenangan bernegara sehingga tujuan akhir dari itu adanya kesinergian antara asas – asas hukum itu sendiri. Diantara kewenangan yang diatur oleh negara itu adalah masalah perkawinan, perkawinan diatur oleh negara karena negara berkepentingan dalam menciptakan generasi penerus yang bisa mengelola negara secara lebih baik kedepannya dan ini diatur didalam undang-undang perkawinan.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, karena perkawinan sebagai didefenisikan dalam Pasal 1 -nya adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Didalam Undang-undang Perkawinan tersebut juga dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan .
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama memberi kewenangan kepada peradilan agama untuk menangani masalah perkawinan seperti perceraian. Bagi seseorang yang ingin melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa ia dan pasangannya tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.
Seseorang yang beragama Islam merasa bahwa perkawinannya tidak dapat dipertahankan lagi dan memutuskan untuk bercerai, maka sesuai dengan undang-undang peradilan agama tersebut, langkah yang dapat ditempuh adalah permintaan cerai kepada pengadilan agama. Menurut Drs. Syarif Utsman ,”dengan mengutip ketentuan UU Perkawinan tahun 1974 dan UU Peradilan Agama tahun 1989, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak”.
Peraturan yang telah dibuat tersebut merupakan cerminan dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia, namun ketika dihadapkan kepada realita yang terjadi peraturan yang ada tersebut terkadang tidak bisa menghadapi kasus konkrit seperti halnya bagaimana pandangan tentang status perkawinan secara Islam yang tidak didaftarkan dan begitu juga dengan perceraiannya. Berdasarkan arahan Bapak Bachtiar Abna, SH, SU selaku dosen pembimbing mata kuliah Kuliah Hukum Keluarga & Harta Perkawinan maka diberi namalah makalah ini dengan nama : ” Pandangan Tentang Status Perkawinan Secara Islam Yang Tidak Didaftarkan dan Status Perceraiannya Yang Tidak Didepan Sidang Pengadilan Negeri”.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan kuliah pada tanggal 1 November 2008 maka rumusan masalah yang diberikan adalah :
1. Bagaimana pandangan tentang status perkawinan yang tidak didaftarkan ?
2. Bagaimana pula dengan status perceraian yang tidak didepan sidang Pengadilan ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT
Berdasarkan rumusan masalah diatas , tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui Bagaimana pandangan tentang status perkawinan yang tidak didaftarkan dan status perceraian yang tidak didepan sidang Pengadilan
Manfaat yang penulis harapkan dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan teoritis tentang hal-hal yang berkaitan dengan status perkawinan yang tidak didaftarkan dan status perceraian yang tidak didepan sidang Pengadilan serta diharapkan terjadinya pengembangan dan penggayaan ilmu hukum dari penulisan makalah ini.

D. METODE PENULISAN
1. Jenis Penulisan
Penulisan yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif , yaitu penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum secara horizontal .
2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data dalam penelitian ini yaitu data sekunder, data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yakni :
- Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
- Peraturan dasar, batang tubuh UUD 1945
- Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
- Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, karya dari kalangan hukum, media massa cetak dan internet yang memuat berita tentang permasalahan yang sedang dibahas.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, mencakup :
- Bahan-bahan yang memberikan petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Contoh kamus hukum, ensiklopedia.
- Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) diluar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, filsafat, yang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data atau bahan penulisan.
3. Analisa Data
Pada penelitian normatif, pengolahan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk mengadakan pekerjaan analisis dan konstruksi.
Adapun kegiatan-kegiatan dalam analisis data yaitu :
a. Mengelompokan dan membuat sistematika dari data-data yang dikumpulkan sesuai dengan rumusan masalah
b. Memilih pasal-pasal dari UU.Perkawinan dan peraturan pelaksanaanna serta UU. Peradilan Agama yang disiapkan untuk menganalisis data-data yang telah dikelompokan dan sistematika sesuai rumusan masalah tersebut.
c. Kemudian data dianalisis secara hukum dengan metode induktif.

E. PEMBAHASAN
Perdebatan soal eksisensi hukum agama (Islam) dalam sebuah negara, seperti Indonesia yang tak berasaskan Islam, memang sangat alot dan mengundang polemik panjang. Dalam kasus nikah siri atau nikah yang tak dicatatkan resmi ke negara, hampir mayoritas ulama mengatakan hal tersebut sah secara agama sepanjang akad nikahnya memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan Islam. Dalam literatur hukum Islam, sudah jelas tak ada satu pendapatpun dari kalangan ulama fikih yang mewajibkan pencatatan nikah ke negara .
Persoalan yang muncul kemudian, nikah siri merupakan praktik nikah yang tidak dicatatkan secara resmi ke negara. Sementara hukum positif yang berlaku di negara Indonesia sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan tahun 1974 mewajibkan setiap pernikahan harus dilakukan di kantor urusan agama (KUA) dan dicatatkan ke pegawai Pencatat Nikah (PPN) . Dan dibidang lain dapat juga kita lihat, yaitu ketika terjadi talak, dimana menurut hukum fikih klasik, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya dihukumi sah dan mengikat, meski tidak melalui Pengadilan Agama. Sah dalam arti pasangan tersebut sudah tidak berstatus suami-istri lagi, sehingga agama melarang pasangan tersebut melakukan hubungan badan atau persentuhan lainnya. Namun, aturan negara justru berbeda. Talak harus dijatuhkan lewat jalur Pengadilan Agama. Konsekuensi hukumnya, talak yang dijatuhkan secara tidak formal diluar Pengadilan Agama, statusnya tidak sah dalam arti pasangan tersebut masih dianggap sebagai suami istri.

PANDANGAN TENTANG STATUS PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN
Tarik menarik diantara dua hukum yang berbeda atau dualisme hukum dalam masalah perkawinan telah menjadikan masalah tersendiri dalam hukum nasional Indonesia. Nikah siri atau talak tanpa Pengadilan Agama dianggap sah secara agama Islam, namun menurut hukum positif yang berlaku justru dipandang tidak sah.
Dualisme hukum di Indonesia yang aturannya saling bertentangan terkait pernikahan atau talak merupakan hal yang bermasalah, menurut Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Yaqub penyebab terjadinya dualisme adalah karena di Indonesia ada dua kelompok ’madzhab’ yang mendukung sepenuhnya atau mengikuti ajaran Islam total dan yang mendukung atau mengikuti hukum positif. Supaya terjadi sinkronisasi maka dipakailah keduanya, sebab bagi negara seperti Indonesia yang berdasarkan hukum yang mana hukumnya dibuat berdasarkan persetujuan rakyat, tentulah sebagai warga yang baik kita harus mengikutinya.
Pasal 2 Undang-undang Perkawinan menyatakan dalam ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan ayat (2)nya berbunyi : tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya kita harus melihat secara menyeluruh dari isi pasal tersebut, dengan kesatu-paduan pasal tersebut harus dilaksanakan secara pasti guna mendapatkan kepastian hukum. Ketika suatu perkawinan hanya dilaksanakan sampai kepada batas pasal 2 ayat (1) saja maka akibat hukumnya adalah ketika terjadi persengketaan antara suami istri maka pasangan tersebut tidak bisa minta perlindungan secara konkrit kepada Negara dalam hal ini minta putusan kepada Pengadilan. Hal ini terjadi karena perkawinan yang bersangkutan tidak tercatat secara resmi didalam administrasi negara, ketika ini tidak tercatat secara resmi oleh negara maka segala konsekuensi hukum apapun yang terjadi selama dalam perkawinan bagi negara dianggap tidak pernah ada.
Solusi bagi suami istri yang telah melakukan nikah dengan tidak diketahuinya secara resmi oleh negara adalah dengan memintakan itsbat (ketetapan) resmi dari lembaga negara yang mempunyai otoritas untuk menetapkannya yaitu Pengadilan Agama.

STATUS PERCERAIAN YANG TIDAK DIDEPAN SIDANG PENGADILAN
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejateraan spritual dan material. Namun kadang apa yang telah dicanangkan tersebut tidak sesuai dengan harapan. Ditengah perjalanan goncangan dalam berumah tangga tidak dapat dihindari sehingga bisa berkahir dengan terjadinya erceraian. Sesuatu hal yang tidak diharapkan ini kapanpun bisa terjadi, apakah perkawinannya resmi dicatat oleh negara atau hanya berdasarkan agama dan kepercayaannya saja.
Perceraian yang terjadi jika perkawinanya tidak pernah diresmikan oleh negara maka tidak akan membawa dampak hukum yang sangat merumitkan bagi pelakunya. Sebab dari awal perkawinan mereka memang dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Sebaliknya perceraian yang terjadi yang tidak didepan pengadilan sementara perkawinannya sah secara hukum negara juga tidak akan membawa dampak hukum, mereka masih dianggap sebagai pasangan yang sah walaupun menurut agama mereka sudah sah bercerai ketika syaratnya terpenuhi.
















F. PENUTUP

a. Kesimpulan
Berdasarkan ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Perkawinan yang tidak tercatat secara resmi oleh negara maka segala konsekuensi hukum apapun yang terjadi selama dalam perkawinan bagi negara dianggap tidak pernah ada.
2. Perceraian yang terjadi yang tidak didepan pengadilan sementara perkawinannya sah secara hukum negara tidak akan membawa dampak hukum, mereka masih dianggap sebagai pasangan yang sah walaupun menurut agama mereka sudah sah bercerai ketika syaratnya terpenuhi.

b. Saran
Ketentuan tambahan yang diberlakukan oleh pemerintah dalam masalah perkawinan yaitu dengan mensyaratkan adanya soal pencatatan dan legalitas perceraian merupakan suatu keniscayaan demi memilihara keteraturan sosial dan mencegah kemudharatan sehingga diharapkan kedepan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama lebih banyak mensosialisasikan pentingnya perkawinan dilakukan pencatatan dan legalitas dari perceraian.














DAFTAR PUSTAKA



Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta,2001)

Drs. C. S. T. Kansil, SH. Pengantar Hukum Indonesia. (Jakarta, 1986)

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, 1986)

Undang-undang Perkawinan, UU. No.1 tahun 1974, terbitan PT. Aneka Ilmu Semarang

Majalah Pengantin Muslim Anggun, No.20 vol.2 Januari 20007.

Jumat, 03 April 2009

PEMILU 2009 : Pendemokrasian Totaliter Atau Penghancuran Sistemik Bangsa

Oleh : Khairulnas, SH Sutan Basa Batuah
/Alumni FH UMSB
/Alumni PKPA UBH
/ Mahasiswa Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan UGM




Kembali datang, PEMILU. Ya, inilah pesta yang dinantikan para caleg kita, konon katanya PEMILU merupakan salah satu pilar dari Negara yang dikatakan DEMOKRASI. Pemilu merupakan sarana kedaulatan tertinggi dari rakyat untuk menentukan keberlangsungan dari Negara. Semakin aktif rakyat terlibat didalam proses pemilu maka semakin kuat legitimasi kekuasaan Negara yang dimanifestasikan melalui lembaga eksekutif dan legislative. Sebagai sarana menuju demokrasi maka system dari pemilu yang dilakukan merupakan tolak ukur tingkat kedemokrasian dari suatu Negara, disamping adanya kebebasan pers, pemisahan legislative, eksekutif, yudikatif, dan perlindungan HAM.
Demokrasi merupakan bahasa yang kita impor dari budaya barat, ia terdiri dari dua kata, demos dan kretos, yang artinya pemerintahan rakyat. Inilah konsep baku dari demokrasi, segala sesuatu dibuat, dilaksanakan, dipikirkan atas nama pemerintahan rakyat. Pengertian diatas dapat kita simpulkan lagi menjadi pemerintahan dan rakyat. Artinya apa, antara pemerintahan dan rakyat ada perbedaan yang signifikan, ada batas, ketika terjadi tarik-menarik kepentingan, ketika dimenangkan oleh salah satu pihak-apakah pemerintahan atau rakyat-maka berlakulah yang dinamakan siklus polybius atau lingkaran setan, ketika siklus ini dimenangkan oleh rakyat, dibentuklah Negara yang dinamakan demokrasi.
Para ahlipun menyatakan bahwa bentuk Negara yang cocok itu adalah demokrasi, segala sesuatu atas kemaun rakyat. Kita setuju, akan tetapi ada penampakan yang tidak kita dukung, ketika terjadi tarik-menarik guna adanya legitimasi yang kuat bagi pemerintahan, yang diwujudkan oleh segelintir orang maka rakyat diberdayakan dengan segala trik, seperti halnya PEMILU 2009 yang sebentar lagi kita laksanakan.
PEMILU 2009 merupakan tolak ukur Negara kedepan, yang membanggakan kita, pemilu yang akan datang ini sangatlah demokratis sekali, siapapun bisa menjadi CALEG, tidak ada perbedaan fisik, yang ada, kepentingan abadi. Dan Mahkamah Konstitusipun mendukung hal ini dengan mencabut pasal-pasal yang bisa menghambat kemampuan apresiasi seorang calon legislative (caleg) dalam memperoleh kursi dewan yang terhormat. Akibatnya, para caleg-pun ada yang surprise karena dia akan bisa menduduki kursi dengan kemampuannya sendiri dan ada juga yang kecewa karena harapan untuk dapat genjotan suara dari bawah tidak lagi bisa didapat, dan perempuanpun kembali setara dengan laki-laki dalam pencalegan.
Dagelan yang terjadi ini, jika kita sikapi dengan arif maka akan tampak nuansa penampakan yang kelam. Kenapa?, ini terjadi karena kita begitu terpesona dengan kedemokrasian yang kita junjung sehingga ada juga yang berslogan Indonesia adalah negara yang paling demokrasi. Kita terperdaya dengan system yang ada, yang menjunjung kebebasan hak, terutama dalam pencalegan. Padahal ini hanya semu, kita terperangkap dalam pemikiran sendiri.
Mari kita renungkan, sebuah kisah tentang kebenaran kecil dan kebenaran besar yang disampaikan ulang oleh Presiden RI ketika memperingati hari Pers Nasional beberapa hari yang lalu. Ketika dua oranng berdebat mengenai masalah jumlah angka yang benar dari hasil perkalian 6 X 4, yang tidak perlu diragukan lagi hasilnya adalah benar 24, namun hasil ini akan menjadi kebenaran kecil ketika hasil tersebut dikatakan 23 oleh seorang yang mau memotong kepalanya jika jawabannya salah, dan ini akan bernilai kebenaran besar ketika perkalian tadi berjumlah 23, karena disana akan terselamatkan sebuah kehidupan.
Nah, kenapa kisahnya harus ini?!!, karena kita baru bisa memahami pada kebenaran kecil saja, yaitu adanya keleluasaan dalam mengekspresikan PEMILU 2009, suara terbanyak. Kita terperangkap pada proses, akan tetapi kita tidak mengarah kepada hasil dari proses yang didapat nantinya, yaitu masyarakat adil dan makmur. Efek sampingnya adalah kebenaran besar yang kita citakan bersama akan bertambah lambat tercapai, karena kita terlalu mengagungkan kebenaran kecil tadi. Kebenaran kecil tadi akan menghasilkan PEMILU 2009 yang kurang berkualitas karena melalui prosesnya telah bisa kita tebak, akhirnya banyak anggota dewan kita yang tidak bekerja maksimal dalam memperjuangkan cita –cita tadi, masyarakat adil dan makmur.
Proses tersebut tidak saja menghasilkan kompetisi antar partai politik yang ada akan tetapi sampai juga kepada kompetisi antar individu dalam satu partai, belum lagi sorotan pendidikan para caleg dan pengalamannya yang minim. Dengan ini kita sudah bisa menangkap, apakah pemilu 2009 merupakan sarana pencapaian demokrasi yang totaliter atau hanya sekedar bagi penghancuran secara sistemik terhadap keutuhan NKRI. Dan karakter bangsa kita juga tidak bisa disamakan dengan Negara pembawa demokrasi tersebut, Kita berwatak komunalistik bukan individualistic.
Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat tertinggi mengharapkan terciptanya kepemimpinan menuju masyarakat adil dan makmur bukan pemerintahan buat segelintir orang. Pemilu 2009 merupakan tolak ukur bangsa kedepan, kita mau menyukseskannya akan tetapi yang kita sukseskan tersebut renungan akhirnya adalah kebenaran kecil saja, bukan masyarakat adil makmur sebagai kebenaran besar. Kalau begitu, bagaimana mencapai kebenaran besar tersebut?, mari kita benahi system kita, aturan main kita rombak. Alangkah baiknya kita kembali menghidupkan utusan daerah atau pencalegan kedepan sistemnya dirombak menjadi “system lamaran”, kita buat aturan, siapa yang ingin mencaleg melamar kepada lembaga khusus, lalu adakan test and profit test, buat criteria bahwa caleg minimal sarjana dengan penghasilan diatas rata-rata dan yang terpenting sanggup memakmurkan rakyat. Wallahu’alam.