Minggu, 07 Juni 2009

Asa Terhadap Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)

Oleh : Khairulnas, SH
Alumnus Fak.Hukum UMSB/Peserta PKPA UBH

Fiat justitia et pereat mundus !!!, berarti meskipun dunia akan runtuh, hukum harus ditegakkan!!! Ini adalah salah satu adagium yang dipakai oleh catur wangsa penegak hukum. Catur wangsa penegak hukum di Indonesia ada 4 yaitu : hakim, jaksa, polisi serta advokat. Mereka ini merupakan komponen utama dari pilar keadilan buat justitiabelen (pencari keadilan) karena dipundaknya terletak tugas law enforcement (penegak hukum).
Untuk kelanjutan dari estafet supremasi hukum dan penegakan hukum, maka diadakanlah perekrutan generasi oleh masing-masing institusi catur wangsa tersebut. Dan hal ini diatur oleh undang-undang yang menjadi dasar adanya catur wangsa tesebut, diantaranya bagi hakim diatur dengan UU. No.04 tahun 2004 tentang perubahan UU. No.14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, bagi jaksa dengan UU. No. tahun tentang Pokok-Pokok Kejaksaan, buat polisi UU. No. tahun…. tentang Kepolisian serta advokat dengan UU. No. 18 tahun 2003 tentang advokat. Bagaimana cara perekrutan regenerasi bagi masing-masing institusi diatur oleh peraturan tersendiri dari masing-masing institusi catur wangsa tersebut.
Berdasarkan pengamatan penulis, untuk tiga institusi yaitu hakim, jaksa serta kepolisian pola perekrutannya hampir sama yaitu dimulai dari tahapan: pertama, penerimaan calon. kedua, tes masuk bagi calon. Ketiga, pendidikan khusus calon, keempat, magang bagi calon. Kelima, dilantik secara resmi calon yang bersangkutan. Jadi ada 5 tahapan yang akan dilalui seorang calon penegak hukum buat hakim, jaksa serta kepolisian. Dan memang sepantasnyalah seperti ini urutan penerimaan bagi estafet catur wangsa penegak hukum. Bagaimana dengan perekrutan calon advokat ? bagi penulis ini adalah suatu dilema yang harus diperbaiki, tentunya harapan ini tertompang kepada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai wadah tunggal sekarang bagi penyeleksian advokat di seluruh Indonesia.
Dilema yang penulis maksudkan yaitu tentang tahapan penerimaan calon advokat, dalam hal ini ada sedikit penyimpangan, yang bagi penulis ini adalah suatu pola perekrutan yang diplesetkan penafsirannya, sebenarnya cara perekrutan calon advokat juga memenuhi seperti yang terdapat dalam tahapan penerimaan calon hakim, jaksa serta polisi yaitu adanya pertama, pendaftaran. Kedua, tes. Ketiga, pendidikan khusus. Keempat, magang. Kelima, dilantik. Lalu Dimana letak perbedaannya antara pola perekrutan advocate dengan catur wangsa yang lainnya? ini terdapat pada tahapan perekrutan, seharusnya seperti tahapan diatas, akan tetapi pada penerimaan calon advokat diformat tahapannya menjadi Pertama, pendidikan khusus. Kedua, pendaftaran. Ketiga, tes. Keempat, magang. Kelima, dilantik. Jadi janggalnya menurut penulis ada tahapan yang premature, yang seharusnya ada tertib penerimaan calon advokat akhirnya jadi sedikit rancu.
Kalau kita tarik kepada konsep Otto Van Gierke tentang teori organ, maka penerimaan calon advokat adalah suatu organ yang mana organ tersebut harus runut dan runtut tidak asal comot dan main tempel sembarangan. Jadi tahapan yang dilakukan oleh hakim, jaksa, dan polisi adalah model yang cocok dan wajar diterapkan. Bagaimana akan tercipta advokat yang professional jika dari awal kelahirannya sudah dibumbui dengan hal tidak masuk logika awam hingga akhirnya akan membentuk opini public yang janggal. Bukankah opini public itu sangat mempengaruhi wibawa advokat itu sendiri.
“Tampil beda” yang dilakukan oleh PERADI dalam penerimaan calon advokat, walaupun ini hanya soal tertib penerimaan runut dan runtut calon advokat tapi bagi penulis ini mempunyai konsekuensi yang cukup besar yang harus kita perhatikan, berdasarkan analisis penulis ada 4 hal yang yang terkait sebagai konsekwensi yang mesti diperhatikan :
Pertama, secara yuridis. Jika kita telaah UU.No.18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 2 ayat (1) “Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat” , dalam pasal ini ada 2 pernyataan yang dapat kita simpulkan yaitu : Pertama, yang “dapat diangkat” sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. Kedua, “dan setelah” mengikuti PKPA yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Disini tertulis kata-kata : dapat diangkat serta kata dan setelah, artinya dapat diangkat harus ada suatu kondisi syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon advocate. Syarat tersebut dijawab sendiri oleh UU.No.18 Tahun 2003 dalam Pasal 3 ayat (1) “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Warga Negara Republik Indonesia;
b. Bertempat tinggal di Indonesia;
c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara;
d. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidkan tinggi hukum;
f. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisai Advokat;
g. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus-menerus pada kantor Advokat;
h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. Berprilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Berdasarkan bunyi UU tersebut maka terlihat bahwa kondisi syarat awal yang harus dipenuhi calon Advokat adalah poin Pasal 3 ayat (1) diatas. Setelah ini dipenuhi calon Advokat, maka baru kita memasuki tahapan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), disinilah charisma dari kata dan dalam pasal 2 ayat (1) diatas, jadi ada alur berpikir yang runut dan runtut dari para legal drafter (pembuat undang-undang). Untuk itu penulis berpendapat apa yang diterapkan oleh Organisasi Advokat kita, dalam hal ini PERADI sebagai wadah yang diberi mandat untuk penerimaan advokat baru, perlu diperbaiki kedepan, sebab advokat adalah profesi mulia (officium nobile).
Kedua, Secara philosopis dan sosiologis. Dari segi philosopis barangkali para pembuat kebijakan dalam penerimaan calon advokat, - dalam hal ini PERADI - beranggapan dengan didahulukannya PKPA maka akan terciptalah para advokat muda yang benar-benar berkualitas, dengan asumsi bahwa advokat mempunyai tugas yang sangat berat. Dalam praktek seorang advocate akan sering berbenturan dengan penegak hukum yang lain seperti hakim, jaksa, dan polisi, belum lagi dengan klien, masyarakat dan sesama rekan sejawat. Semua kondisi psikologis ini harus dihadapi oleh Advokat secara professional, mandiri dan bertanggungjawab, dengan harapan tetap langgengya adagium Advokat sebagai officium nobile . Akan tetapi dalam pencapaian ini agaknya Organisasi Advokat kurang mencermati kejiwaan masyarakat yang berminat akan profesi ini, dengan adanya aturan tentang penerimaan calon advokat seperti saat ini telah memudarkan minat generasinya buat mengabdi pada profesi ini. Karena secara tidak langsung mengesankan bahwa advokat adalah golongan elit yang berkantong tebal, yang ujung-ujung dari perjuangan advokat tersebut akan berakhir dengan ucapan “pembela bagi yang bayar”, karena setiap advokat pasti akan berpikir bagaimana cara mengembalikan duit yang telah dikeluarkan sewaktu masuk advokat.
Belum lagi dengan adanya factor psikologis yang menghambat seperti pernyataan seorang rekan, “belum mendaftar saja sudah bayar sekian juta (buat PKPA), kalaupun lulus PKPA, biaya ujian lagi yang dibayar sekian, yang tingkat kelulusannya sangat kecil, semisal kita lulus, magang pula 2 tahun yang berkewajiban untuk tidak menerima uang dari Advokat pendamping, otomatis jadi penganguran, padahal salah satu tujuan masuk profesi ini adalah menghilangkan kemiskinan, setelah dilantik, tidak otomatis bisa langsung jadi advokat tenar dengan segudang kegiatan, iyakan??”.
Mari kita renungkan hal ini apakah advokat dapat menjalankan peran gandanya sebagai penegak hukum dan pembela klien. Point D’interest, Point D’action.

4 Kesalahan

Disadur ulang oleh : Sutan Basa Batuah

Suatu kali ketika sedang melakukan pemeriksaan di malam hari, khlalifah umar bin khatab mendengar suara sepasang lelaki dan perempuan dari sebuah rumah yang sangat mencurigakan.
Mendengar ini khalifah umar langsung berhenti, didengarnya suara itu baik- baik dan ternyata makin lama kecurigaannya semakin bertambah.
Akhirnya khalifah umar segera memanjat dan melihat ke arah rumah mak terlihatlah oleh khalifah umar sepasang orang dimaksud, dan nampak mereka sedang asyik bermabuk-mabukan.
Melihat kondisi ini, Khalifah umar yang memang memiliki ketegasan sikap sudah tak tahan lagi menyaksikan pemandangan yang menyedihkan hatinya dan membuat darahnya melonjak.
Beliau menunjukan kemarahannya dan dengan keras berkata, ”engkau adalah musuh Allah!, apakah engkau mengira bahwa Allah akan merahasiakan perbuatanmu?”.
lelaki yang dimaksud itu terkejut, akan tetapi ia segera menjawab, ”wahai khalifah kaum mukminin, sesungguhnya aku melanggar aturan Allah hany satu kali, sedangkan anda melakukan pelanggaran 4 kali !”.
Begitu mendengar jawaban orang yang dimarahinya, khalifah umar sempat menggerutkan keningnya, kemudian laki-laki itu melanjutkan kata-katanya, ”Allah berfirman, janganlah kamu memata-matai......(QS.Al Hujarat : 12). Sedangkan anda telah mengintip dan memata-matai kami”.
Lalu Allah berfirman, ”dan masukilah rumah -rumah itu dari pintu-pintunya...(QS. Albaqarah :189). Sedangkan anda justru memanjat dari belakang”.
Dan Allah berfirman,”dan apabila kamu memasuki sebuah rumah maka sampaikanlah salam kepada penghuninya...(QS. Annur :61). Sedangkan anda tidak ada mengucapkan salam kepada kami”.
Dan, ”dan janganlah kamu memasuki rumah kecuali setealh mendapatkan izin dari penghuninya...(QS.Annur :27). Sedang anda tidak meminta izin dan kami merasa tidak memberi izin.
Akhirnya setelah mendengar ini, surutlah kemarahan umar dan beliau meminta maaf dan juga menasehati orang-orang tersebut.
===============================================================
Apa iktibar cerita diatas ? ------dinataranya : bukti2 yg didapat dengan cara melanggar tidak bisa jadi bukti