Minggu, 07 Juni 2009

Asa Terhadap Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA)

Oleh : Khairulnas, SH
Alumnus Fak.Hukum UMSB/Peserta PKPA UBH

Fiat justitia et pereat mundus !!!, berarti meskipun dunia akan runtuh, hukum harus ditegakkan!!! Ini adalah salah satu adagium yang dipakai oleh catur wangsa penegak hukum. Catur wangsa penegak hukum di Indonesia ada 4 yaitu : hakim, jaksa, polisi serta advokat. Mereka ini merupakan komponen utama dari pilar keadilan buat justitiabelen (pencari keadilan) karena dipundaknya terletak tugas law enforcement (penegak hukum).
Untuk kelanjutan dari estafet supremasi hukum dan penegakan hukum, maka diadakanlah perekrutan generasi oleh masing-masing institusi catur wangsa tersebut. Dan hal ini diatur oleh undang-undang yang menjadi dasar adanya catur wangsa tesebut, diantaranya bagi hakim diatur dengan UU. No.04 tahun 2004 tentang perubahan UU. No.14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman, bagi jaksa dengan UU. No. tahun tentang Pokok-Pokok Kejaksaan, buat polisi UU. No. tahun…. tentang Kepolisian serta advokat dengan UU. No. 18 tahun 2003 tentang advokat. Bagaimana cara perekrutan regenerasi bagi masing-masing institusi diatur oleh peraturan tersendiri dari masing-masing institusi catur wangsa tersebut.
Berdasarkan pengamatan penulis, untuk tiga institusi yaitu hakim, jaksa serta kepolisian pola perekrutannya hampir sama yaitu dimulai dari tahapan: pertama, penerimaan calon. kedua, tes masuk bagi calon. Ketiga, pendidikan khusus calon, keempat, magang bagi calon. Kelima, dilantik secara resmi calon yang bersangkutan. Jadi ada 5 tahapan yang akan dilalui seorang calon penegak hukum buat hakim, jaksa serta kepolisian. Dan memang sepantasnyalah seperti ini urutan penerimaan bagi estafet catur wangsa penegak hukum. Bagaimana dengan perekrutan calon advokat ? bagi penulis ini adalah suatu dilema yang harus diperbaiki, tentunya harapan ini tertompang kepada Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) sebagai wadah tunggal sekarang bagi penyeleksian advokat di seluruh Indonesia.
Dilema yang penulis maksudkan yaitu tentang tahapan penerimaan calon advokat, dalam hal ini ada sedikit penyimpangan, yang bagi penulis ini adalah suatu pola perekrutan yang diplesetkan penafsirannya, sebenarnya cara perekrutan calon advokat juga memenuhi seperti yang terdapat dalam tahapan penerimaan calon hakim, jaksa serta polisi yaitu adanya pertama, pendaftaran. Kedua, tes. Ketiga, pendidikan khusus. Keempat, magang. Kelima, dilantik. Lalu Dimana letak perbedaannya antara pola perekrutan advocate dengan catur wangsa yang lainnya? ini terdapat pada tahapan perekrutan, seharusnya seperti tahapan diatas, akan tetapi pada penerimaan calon advokat diformat tahapannya menjadi Pertama, pendidikan khusus. Kedua, pendaftaran. Ketiga, tes. Keempat, magang. Kelima, dilantik. Jadi janggalnya menurut penulis ada tahapan yang premature, yang seharusnya ada tertib penerimaan calon advokat akhirnya jadi sedikit rancu.
Kalau kita tarik kepada konsep Otto Van Gierke tentang teori organ, maka penerimaan calon advokat adalah suatu organ yang mana organ tersebut harus runut dan runtut tidak asal comot dan main tempel sembarangan. Jadi tahapan yang dilakukan oleh hakim, jaksa, dan polisi adalah model yang cocok dan wajar diterapkan. Bagaimana akan tercipta advokat yang professional jika dari awal kelahirannya sudah dibumbui dengan hal tidak masuk logika awam hingga akhirnya akan membentuk opini public yang janggal. Bukankah opini public itu sangat mempengaruhi wibawa advokat itu sendiri.
“Tampil beda” yang dilakukan oleh PERADI dalam penerimaan calon advokat, walaupun ini hanya soal tertib penerimaan runut dan runtut calon advokat tapi bagi penulis ini mempunyai konsekuensi yang cukup besar yang harus kita perhatikan, berdasarkan analisis penulis ada 4 hal yang yang terkait sebagai konsekwensi yang mesti diperhatikan :
Pertama, secara yuridis. Jika kita telaah UU.No.18 Tahun 2003 tentang Advokat Pasal 2 ayat (1) “Yang dapat diangkat sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum dan setelah mengikuti pendidikan khusus profesi advokat yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat” , dalam pasal ini ada 2 pernyataan yang dapat kita simpulkan yaitu : Pertama, yang “dapat diangkat” sebagai advokat adalah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum. Kedua, “dan setelah” mengikuti PKPA yang dilaksanakan oleh Organisasi Advokat. Disini tertulis kata-kata : dapat diangkat serta kata dan setelah, artinya dapat diangkat harus ada suatu kondisi syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon advocate. Syarat tersebut dijawab sendiri oleh UU.No.18 Tahun 2003 dalam Pasal 3 ayat (1) “Untuk dapat diangkat menjadi Advokat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. Warga Negara Republik Indonesia;
b. Bertempat tinggal di Indonesia;
c. Tidak berstatus sebagai pegawai negeri atau pejabat Negara;
d. Berusia sekurang-kurangnya 25 (dua puluh lima) tahun;
e. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidkan tinggi hukum;
f. Lulus ujian yang diadakan oleh Organisai Advokat;
g. Magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun terus-menerus pada kantor Advokat;
h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
i. Berprilaku baik, jujur, bertanggung jawab, adil, dan mempunyai integritas yang tinggi.
Berdasarkan bunyi UU tersebut maka terlihat bahwa kondisi syarat awal yang harus dipenuhi calon Advokat adalah poin Pasal 3 ayat (1) diatas. Setelah ini dipenuhi calon Advokat, maka baru kita memasuki tahapan Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), disinilah charisma dari kata dan dalam pasal 2 ayat (1) diatas, jadi ada alur berpikir yang runut dan runtut dari para legal drafter (pembuat undang-undang). Untuk itu penulis berpendapat apa yang diterapkan oleh Organisasi Advokat kita, dalam hal ini PERADI sebagai wadah yang diberi mandat untuk penerimaan advokat baru, perlu diperbaiki kedepan, sebab advokat adalah profesi mulia (officium nobile).
Kedua, Secara philosopis dan sosiologis. Dari segi philosopis barangkali para pembuat kebijakan dalam penerimaan calon advokat, - dalam hal ini PERADI - beranggapan dengan didahulukannya PKPA maka akan terciptalah para advokat muda yang benar-benar berkualitas, dengan asumsi bahwa advokat mempunyai tugas yang sangat berat. Dalam praktek seorang advocate akan sering berbenturan dengan penegak hukum yang lain seperti hakim, jaksa, dan polisi, belum lagi dengan klien, masyarakat dan sesama rekan sejawat. Semua kondisi psikologis ini harus dihadapi oleh Advokat secara professional, mandiri dan bertanggungjawab, dengan harapan tetap langgengya adagium Advokat sebagai officium nobile . Akan tetapi dalam pencapaian ini agaknya Organisasi Advokat kurang mencermati kejiwaan masyarakat yang berminat akan profesi ini, dengan adanya aturan tentang penerimaan calon advokat seperti saat ini telah memudarkan minat generasinya buat mengabdi pada profesi ini. Karena secara tidak langsung mengesankan bahwa advokat adalah golongan elit yang berkantong tebal, yang ujung-ujung dari perjuangan advokat tersebut akan berakhir dengan ucapan “pembela bagi yang bayar”, karena setiap advokat pasti akan berpikir bagaimana cara mengembalikan duit yang telah dikeluarkan sewaktu masuk advokat.
Belum lagi dengan adanya factor psikologis yang menghambat seperti pernyataan seorang rekan, “belum mendaftar saja sudah bayar sekian juta (buat PKPA), kalaupun lulus PKPA, biaya ujian lagi yang dibayar sekian, yang tingkat kelulusannya sangat kecil, semisal kita lulus, magang pula 2 tahun yang berkewajiban untuk tidak menerima uang dari Advokat pendamping, otomatis jadi penganguran, padahal salah satu tujuan masuk profesi ini adalah menghilangkan kemiskinan, setelah dilantik, tidak otomatis bisa langsung jadi advokat tenar dengan segudang kegiatan, iyakan??”.
Mari kita renungkan hal ini apakah advokat dapat menjalankan peran gandanya sebagai penegak hukum dan pembela klien. Point D’interest, Point D’action.

4 Kesalahan

Disadur ulang oleh : Sutan Basa Batuah

Suatu kali ketika sedang melakukan pemeriksaan di malam hari, khlalifah umar bin khatab mendengar suara sepasang lelaki dan perempuan dari sebuah rumah yang sangat mencurigakan.
Mendengar ini khalifah umar langsung berhenti, didengarnya suara itu baik- baik dan ternyata makin lama kecurigaannya semakin bertambah.
Akhirnya khalifah umar segera memanjat dan melihat ke arah rumah mak terlihatlah oleh khalifah umar sepasang orang dimaksud, dan nampak mereka sedang asyik bermabuk-mabukan.
Melihat kondisi ini, Khalifah umar yang memang memiliki ketegasan sikap sudah tak tahan lagi menyaksikan pemandangan yang menyedihkan hatinya dan membuat darahnya melonjak.
Beliau menunjukan kemarahannya dan dengan keras berkata, ”engkau adalah musuh Allah!, apakah engkau mengira bahwa Allah akan merahasiakan perbuatanmu?”.
lelaki yang dimaksud itu terkejut, akan tetapi ia segera menjawab, ”wahai khalifah kaum mukminin, sesungguhnya aku melanggar aturan Allah hany satu kali, sedangkan anda melakukan pelanggaran 4 kali !”.
Begitu mendengar jawaban orang yang dimarahinya, khalifah umar sempat menggerutkan keningnya, kemudian laki-laki itu melanjutkan kata-katanya, ”Allah berfirman, janganlah kamu memata-matai......(QS.Al Hujarat : 12). Sedangkan anda telah mengintip dan memata-matai kami”.
Lalu Allah berfirman, ”dan masukilah rumah -rumah itu dari pintu-pintunya...(QS. Albaqarah :189). Sedangkan anda justru memanjat dari belakang”.
Dan Allah berfirman,”dan apabila kamu memasuki sebuah rumah maka sampaikanlah salam kepada penghuninya...(QS. Annur :61). Sedangkan anda tidak ada mengucapkan salam kepada kami”.
Dan, ”dan janganlah kamu memasuki rumah kecuali setealh mendapatkan izin dari penghuninya...(QS.Annur :27). Sedang anda tidak meminta izin dan kami merasa tidak memberi izin.
Akhirnya setelah mendengar ini, surutlah kemarahan umar dan beliau meminta maaf dan juga menasehati orang-orang tersebut.
===============================================================
Apa iktibar cerita diatas ? ------dinataranya : bukti2 yg didapat dengan cara melanggar tidak bisa jadi bukti

Sabtu, 04 April 2009

Pandangan Tentang Status Perkawinan Secara Islam Yang Tidak Didaftarkan dan Status Perceraiannya Yang Tidak Didepan Sidang Pengadilan Negeri

Makalah


Diajukan Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Keluarga & Harta Perkawinan
Pada Program Magister Kenotariatan UGM - UNAND
Dosen : Bpk. Bachtiar Abna, SH, SU


Oleh :
KHAIRULNAS







Universitas Gadjah Mada
Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan
Padang
2008




==========================================================================================



MAKALAH
Pandangan Tentang Status Perkawinan Secara Islam Yang Tidak Didaftarkan dan Status Perceraiannya Yang Tidak Didepan Sidang
Pengadilan Negeri


A. PENGANTAR
Ketertiban hukum dalam pelaksanaan negara juga menuntut ketertiban dalam peng-administrasian dalam menjalankan tugas dan kewenangan bernegara sehingga tujuan akhir dari itu adanya kesinergian antara asas – asas hukum itu sendiri. Diantara kewenangan yang diatur oleh negara itu adalah masalah perkawinan, perkawinan diatur oleh negara karena negara berkepentingan dalam menciptakan generasi penerus yang bisa mengelola negara secara lebih baik kedepannya dan ini diatur didalam undang-undang perkawinan.
Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal, karena perkawinan sebagai didefenisikan dalam Pasal 1 -nya adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Didalam Undang-undang Perkawinan tersebut juga dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan disamping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa penting dalam kehidupan seseorang misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan .
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama memberi kewenangan kepada peradilan agama untuk menangani masalah perkawinan seperti perceraian. Bagi seseorang yang ingin melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa ia dan pasangannya tidak akan dapat hidup rukun lagi sebagai suami istri.
Seseorang yang beragama Islam merasa bahwa perkawinannya tidak dapat dipertahankan lagi dan memutuskan untuk bercerai, maka sesuai dengan undang-undang peradilan agama tersebut, langkah yang dapat ditempuh adalah permintaan cerai kepada pengadilan agama. Menurut Drs. Syarif Utsman ,”dengan mengutip ketentuan UU Perkawinan tahun 1974 dan UU Peradilan Agama tahun 1989, bahwa perceraian hanya dapat dilakukan didepan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhenti mendamaikan kedua belah pihak”.
Peraturan yang telah dibuat tersebut merupakan cerminan dari aspirasi seluruh rakyat Indonesia, namun ketika dihadapkan kepada realita yang terjadi peraturan yang ada tersebut terkadang tidak bisa menghadapi kasus konkrit seperti halnya bagaimana pandangan tentang status perkawinan secara Islam yang tidak didaftarkan dan begitu juga dengan perceraiannya. Berdasarkan arahan Bapak Bachtiar Abna, SH, SU selaku dosen pembimbing mata kuliah Kuliah Hukum Keluarga & Harta Perkawinan maka diberi namalah makalah ini dengan nama : ” Pandangan Tentang Status Perkawinan Secara Islam Yang Tidak Didaftarkan dan Status Perceraiannya Yang Tidak Didepan Sidang Pengadilan Negeri”.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN
Berdasarkan kuliah pada tanggal 1 November 2008 maka rumusan masalah yang diberikan adalah :
1. Bagaimana pandangan tentang status perkawinan yang tidak didaftarkan ?
2. Bagaimana pula dengan status perceraian yang tidak didepan sidang Pengadilan ?

C. TUJUAN DAN MANFAAT
Berdasarkan rumusan masalah diatas , tujuan yang hendak dicapai adalah untuk mengetahui Bagaimana pandangan tentang status perkawinan yang tidak didaftarkan dan status perceraian yang tidak didepan sidang Pengadilan
Manfaat yang penulis harapkan dari penulisan makalah ini adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan teoritis tentang hal-hal yang berkaitan dengan status perkawinan yang tidak didaftarkan dan status perceraian yang tidak didepan sidang Pengadilan serta diharapkan terjadinya pengembangan dan penggayaan ilmu hukum dari penulisan makalah ini.

D. METODE PENULISAN
1. Jenis Penulisan
Penulisan yang dilaksanakan adalah penelitian hukum normatif , yaitu penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum secara horizontal .
2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data
Jenis data dalam penelitian ini yaitu data sekunder, data yang diperoleh dari studi kepustakaan. Sumber data diperoleh dari :
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat yakni :
- Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
- Peraturan dasar, batang tubuh UUD 1945
- Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama
- Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, karya dari kalangan hukum, media massa cetak dan internet yang memuat berita tentang permasalahan yang sedang dibahas.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, mencakup :
- Bahan-bahan yang memberikan petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Contoh kamus hukum, ensiklopedia.
- Bahan-bahan primer, sekunder dan tertier (penunjang) diluar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, filsafat, yang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data atau bahan penulisan.
3. Analisa Data
Pada penelitian normatif, pengolahan data hakikatnya kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan tertulis. Sistematisasi berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut untuk mengadakan pekerjaan analisis dan konstruksi.
Adapun kegiatan-kegiatan dalam analisis data yaitu :
a. Mengelompokan dan membuat sistematika dari data-data yang dikumpulkan sesuai dengan rumusan masalah
b. Memilih pasal-pasal dari UU.Perkawinan dan peraturan pelaksanaanna serta UU. Peradilan Agama yang disiapkan untuk menganalisis data-data yang telah dikelompokan dan sistematika sesuai rumusan masalah tersebut.
c. Kemudian data dianalisis secara hukum dengan metode induktif.

E. PEMBAHASAN
Perdebatan soal eksisensi hukum agama (Islam) dalam sebuah negara, seperti Indonesia yang tak berasaskan Islam, memang sangat alot dan mengundang polemik panjang. Dalam kasus nikah siri atau nikah yang tak dicatatkan resmi ke negara, hampir mayoritas ulama mengatakan hal tersebut sah secara agama sepanjang akad nikahnya memenuhi syarat dan rukun yang telah ditetapkan Islam. Dalam literatur hukum Islam, sudah jelas tak ada satu pendapatpun dari kalangan ulama fikih yang mewajibkan pencatatan nikah ke negara .
Persoalan yang muncul kemudian, nikah siri merupakan praktik nikah yang tidak dicatatkan secara resmi ke negara. Sementara hukum positif yang berlaku di negara Indonesia sebagaimana diatur dalam undang-undang perkawinan tahun 1974 mewajibkan setiap pernikahan harus dilakukan di kantor urusan agama (KUA) dan dicatatkan ke pegawai Pencatat Nikah (PPN) . Dan dibidang lain dapat juga kita lihat, yaitu ketika terjadi talak, dimana menurut hukum fikih klasik, talak yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya dihukumi sah dan mengikat, meski tidak melalui Pengadilan Agama. Sah dalam arti pasangan tersebut sudah tidak berstatus suami-istri lagi, sehingga agama melarang pasangan tersebut melakukan hubungan badan atau persentuhan lainnya. Namun, aturan negara justru berbeda. Talak harus dijatuhkan lewat jalur Pengadilan Agama. Konsekuensi hukumnya, talak yang dijatuhkan secara tidak formal diluar Pengadilan Agama, statusnya tidak sah dalam arti pasangan tersebut masih dianggap sebagai suami istri.

PANDANGAN TENTANG STATUS PERKAWINAN YANG TIDAK DIDAFTARKAN
Tarik menarik diantara dua hukum yang berbeda atau dualisme hukum dalam masalah perkawinan telah menjadikan masalah tersendiri dalam hukum nasional Indonesia. Nikah siri atau talak tanpa Pengadilan Agama dianggap sah secara agama Islam, namun menurut hukum positif yang berlaku justru dipandang tidak sah.
Dualisme hukum di Indonesia yang aturannya saling bertentangan terkait pernikahan atau talak merupakan hal yang bermasalah, menurut Prof. Dr. KH. Ali Musthofa Yaqub penyebab terjadinya dualisme adalah karena di Indonesia ada dua kelompok ’madzhab’ yang mendukung sepenuhnya atau mengikuti ajaran Islam total dan yang mendukung atau mengikuti hukum positif. Supaya terjadi sinkronisasi maka dipakailah keduanya, sebab bagi negara seperti Indonesia yang berdasarkan hukum yang mana hukumnya dibuat berdasarkan persetujuan rakyat, tentulah sebagai warga yang baik kita harus mengikutinya.
Pasal 2 Undang-undang Perkawinan menyatakan dalam ayat (1) bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan ayat (2)nya berbunyi : tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya kita harus melihat secara menyeluruh dari isi pasal tersebut, dengan kesatu-paduan pasal tersebut harus dilaksanakan secara pasti guna mendapatkan kepastian hukum. Ketika suatu perkawinan hanya dilaksanakan sampai kepada batas pasal 2 ayat (1) saja maka akibat hukumnya adalah ketika terjadi persengketaan antara suami istri maka pasangan tersebut tidak bisa minta perlindungan secara konkrit kepada Negara dalam hal ini minta putusan kepada Pengadilan. Hal ini terjadi karena perkawinan yang bersangkutan tidak tercatat secara resmi didalam administrasi negara, ketika ini tidak tercatat secara resmi oleh negara maka segala konsekuensi hukum apapun yang terjadi selama dalam perkawinan bagi negara dianggap tidak pernah ada.
Solusi bagi suami istri yang telah melakukan nikah dengan tidak diketahuinya secara resmi oleh negara adalah dengan memintakan itsbat (ketetapan) resmi dari lembaga negara yang mempunyai otoritas untuk menetapkannya yaitu Pengadilan Agama.

STATUS PERCERAIAN YANG TIDAK DIDEPAN SIDANG PENGADILAN
Perkawinan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejateraan spritual dan material. Namun kadang apa yang telah dicanangkan tersebut tidak sesuai dengan harapan. Ditengah perjalanan goncangan dalam berumah tangga tidak dapat dihindari sehingga bisa berkahir dengan terjadinya erceraian. Sesuatu hal yang tidak diharapkan ini kapanpun bisa terjadi, apakah perkawinannya resmi dicatat oleh negara atau hanya berdasarkan agama dan kepercayaannya saja.
Perceraian yang terjadi jika perkawinanya tidak pernah diresmikan oleh negara maka tidak akan membawa dampak hukum yang sangat merumitkan bagi pelakunya. Sebab dari awal perkawinan mereka memang dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Sebaliknya perceraian yang terjadi yang tidak didepan pengadilan sementara perkawinannya sah secara hukum negara juga tidak akan membawa dampak hukum, mereka masih dianggap sebagai pasangan yang sah walaupun menurut agama mereka sudah sah bercerai ketika syaratnya terpenuhi.
















F. PENUTUP

a. Kesimpulan
Berdasarkan ulasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Perkawinan yang tidak tercatat secara resmi oleh negara maka segala konsekuensi hukum apapun yang terjadi selama dalam perkawinan bagi negara dianggap tidak pernah ada.
2. Perceraian yang terjadi yang tidak didepan pengadilan sementara perkawinannya sah secara hukum negara tidak akan membawa dampak hukum, mereka masih dianggap sebagai pasangan yang sah walaupun menurut agama mereka sudah sah bercerai ketika syaratnya terpenuhi.

b. Saran
Ketentuan tambahan yang diberlakukan oleh pemerintah dalam masalah perkawinan yaitu dengan mensyaratkan adanya soal pencatatan dan legalitas perceraian merupakan suatu keniscayaan demi memilihara keteraturan sosial dan mencegah kemudharatan sehingga diharapkan kedepan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama lebih banyak mensosialisasikan pentingnya perkawinan dilakukan pencatatan dan legalitas dari perceraian.














DAFTAR PUSTAKA



Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta,2001)

Drs. C. S. T. Kansil, SH. Pengantar Hukum Indonesia. (Jakarta, 1986)

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta, 1986)

Undang-undang Perkawinan, UU. No.1 tahun 1974, terbitan PT. Aneka Ilmu Semarang

Majalah Pengantin Muslim Anggun, No.20 vol.2 Januari 20007.

Jumat, 03 April 2009

PEMILU 2009 : Pendemokrasian Totaliter Atau Penghancuran Sistemik Bangsa

Oleh : Khairulnas, SH Sutan Basa Batuah
/Alumni FH UMSB
/Alumni PKPA UBH
/ Mahasiswa Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan UGM




Kembali datang, PEMILU. Ya, inilah pesta yang dinantikan para caleg kita, konon katanya PEMILU merupakan salah satu pilar dari Negara yang dikatakan DEMOKRASI. Pemilu merupakan sarana kedaulatan tertinggi dari rakyat untuk menentukan keberlangsungan dari Negara. Semakin aktif rakyat terlibat didalam proses pemilu maka semakin kuat legitimasi kekuasaan Negara yang dimanifestasikan melalui lembaga eksekutif dan legislative. Sebagai sarana menuju demokrasi maka system dari pemilu yang dilakukan merupakan tolak ukur tingkat kedemokrasian dari suatu Negara, disamping adanya kebebasan pers, pemisahan legislative, eksekutif, yudikatif, dan perlindungan HAM.
Demokrasi merupakan bahasa yang kita impor dari budaya barat, ia terdiri dari dua kata, demos dan kretos, yang artinya pemerintahan rakyat. Inilah konsep baku dari demokrasi, segala sesuatu dibuat, dilaksanakan, dipikirkan atas nama pemerintahan rakyat. Pengertian diatas dapat kita simpulkan lagi menjadi pemerintahan dan rakyat. Artinya apa, antara pemerintahan dan rakyat ada perbedaan yang signifikan, ada batas, ketika terjadi tarik-menarik kepentingan, ketika dimenangkan oleh salah satu pihak-apakah pemerintahan atau rakyat-maka berlakulah yang dinamakan siklus polybius atau lingkaran setan, ketika siklus ini dimenangkan oleh rakyat, dibentuklah Negara yang dinamakan demokrasi.
Para ahlipun menyatakan bahwa bentuk Negara yang cocok itu adalah demokrasi, segala sesuatu atas kemaun rakyat. Kita setuju, akan tetapi ada penampakan yang tidak kita dukung, ketika terjadi tarik-menarik guna adanya legitimasi yang kuat bagi pemerintahan, yang diwujudkan oleh segelintir orang maka rakyat diberdayakan dengan segala trik, seperti halnya PEMILU 2009 yang sebentar lagi kita laksanakan.
PEMILU 2009 merupakan tolak ukur Negara kedepan, yang membanggakan kita, pemilu yang akan datang ini sangatlah demokratis sekali, siapapun bisa menjadi CALEG, tidak ada perbedaan fisik, yang ada, kepentingan abadi. Dan Mahkamah Konstitusipun mendukung hal ini dengan mencabut pasal-pasal yang bisa menghambat kemampuan apresiasi seorang calon legislative (caleg) dalam memperoleh kursi dewan yang terhormat. Akibatnya, para caleg-pun ada yang surprise karena dia akan bisa menduduki kursi dengan kemampuannya sendiri dan ada juga yang kecewa karena harapan untuk dapat genjotan suara dari bawah tidak lagi bisa didapat, dan perempuanpun kembali setara dengan laki-laki dalam pencalegan.
Dagelan yang terjadi ini, jika kita sikapi dengan arif maka akan tampak nuansa penampakan yang kelam. Kenapa?, ini terjadi karena kita begitu terpesona dengan kedemokrasian yang kita junjung sehingga ada juga yang berslogan Indonesia adalah negara yang paling demokrasi. Kita terperdaya dengan system yang ada, yang menjunjung kebebasan hak, terutama dalam pencalegan. Padahal ini hanya semu, kita terperangkap dalam pemikiran sendiri.
Mari kita renungkan, sebuah kisah tentang kebenaran kecil dan kebenaran besar yang disampaikan ulang oleh Presiden RI ketika memperingati hari Pers Nasional beberapa hari yang lalu. Ketika dua oranng berdebat mengenai masalah jumlah angka yang benar dari hasil perkalian 6 X 4, yang tidak perlu diragukan lagi hasilnya adalah benar 24, namun hasil ini akan menjadi kebenaran kecil ketika hasil tersebut dikatakan 23 oleh seorang yang mau memotong kepalanya jika jawabannya salah, dan ini akan bernilai kebenaran besar ketika perkalian tadi berjumlah 23, karena disana akan terselamatkan sebuah kehidupan.
Nah, kenapa kisahnya harus ini?!!, karena kita baru bisa memahami pada kebenaran kecil saja, yaitu adanya keleluasaan dalam mengekspresikan PEMILU 2009, suara terbanyak. Kita terperangkap pada proses, akan tetapi kita tidak mengarah kepada hasil dari proses yang didapat nantinya, yaitu masyarakat adil dan makmur. Efek sampingnya adalah kebenaran besar yang kita citakan bersama akan bertambah lambat tercapai, karena kita terlalu mengagungkan kebenaran kecil tadi. Kebenaran kecil tadi akan menghasilkan PEMILU 2009 yang kurang berkualitas karena melalui prosesnya telah bisa kita tebak, akhirnya banyak anggota dewan kita yang tidak bekerja maksimal dalam memperjuangkan cita –cita tadi, masyarakat adil dan makmur.
Proses tersebut tidak saja menghasilkan kompetisi antar partai politik yang ada akan tetapi sampai juga kepada kompetisi antar individu dalam satu partai, belum lagi sorotan pendidikan para caleg dan pengalamannya yang minim. Dengan ini kita sudah bisa menangkap, apakah pemilu 2009 merupakan sarana pencapaian demokrasi yang totaliter atau hanya sekedar bagi penghancuran secara sistemik terhadap keutuhan NKRI. Dan karakter bangsa kita juga tidak bisa disamakan dengan Negara pembawa demokrasi tersebut, Kita berwatak komunalistik bukan individualistic.
Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat tertinggi mengharapkan terciptanya kepemimpinan menuju masyarakat adil dan makmur bukan pemerintahan buat segelintir orang. Pemilu 2009 merupakan tolak ukur bangsa kedepan, kita mau menyukseskannya akan tetapi yang kita sukseskan tersebut renungan akhirnya adalah kebenaran kecil saja, bukan masyarakat adil makmur sebagai kebenaran besar. Kalau begitu, bagaimana mencapai kebenaran besar tersebut?, mari kita benahi system kita, aturan main kita rombak. Alangkah baiknya kita kembali menghidupkan utusan daerah atau pencalegan kedepan sistemnya dirombak menjadi “system lamaran”, kita buat aturan, siapa yang ingin mencaleg melamar kepada lembaga khusus, lalu adakan test and profit test, buat criteria bahwa caleg minimal sarjana dengan penghasilan diatas rata-rata dan yang terpenting sanggup memakmurkan rakyat. Wallahu’alam.

Sabtu, 21 Maret 2009

Seminar Proposal :


PENENTUAN DOSIS LETAL (LD50) EKSTRAK DAUN KOMPRI (Symphytum officinale fol) terhadap MENCIT PUTIH BETINA

Oleh :

EVA SUSANTI

NIM : 0610121220258

ISI PROPOSAL

l PENDAHULUAN

l TINJAUAN PUSTAKA

l METODOLOGI PENELITIAN

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara beriklim tropis sehingga banyak tumbuhan yang berkhasiat obat

Salah satunya : Kompri

Berguna : obat rematik, pegal linu, diare, obat lambung, kanker payudara

Cara : direbus atau dijadikan lalapan

Namun, dalam pengunaanya harus secara hati-hati mengingat tumbuhan obat juga memiliki efek samping seperti obat kimia.

Jadi, sebelum dikembangkan dan digunakan oleh masyarakat perlu dilakukan uji letal dosis.

Manfaat : dapat menentukan dosis yang tepat dalam menggunakan daun kompri.

TINJAUAN PUSTAKA

uTinjauan Botani Kompri

uTinjauan Makroskopis

uTinjauan Ekstraksi

uTinjauan Letal Dosis

uCara Perhitungan Letal Dosis

Tinjauan Botani

Terdiri dari :

klasifikasi,

nama,

kandungan kimia,

bagian yang digunakan,

Khasiat,

Tinjauan Makroskopis

Merupakan herba yang bentuk rumpun

Berbatang semu

Daun tunggal, berwarna hijau

Permukaan berambut kasar

Panjang 27-50 cm dan lebar 4,5 – 14 cm

Bunganya majemuk

Buah, biji

Akar tunggang, warna coklat

Tinjauan Ekstraksi

Maserasi----proses perendaman simplisia dalam pelarut yg cocok

- Lama---12-14 hari

- Prinsip : pencarian zat aktif

Destilasi Vakum----proses penyulingan dengan tekanan dibawah 1 atm.

Tinjauan Letal Dosis

LD50 ---- uji coba dosis tunggal yang dapat mematikan 50% hewan cobaan

Pemberian dosis sediaan uji dari terendah sampai tertinggi

Disertai pengamatan

Hewan coba : Mencit, Tikus, Anjing,dll

Guna : dapat menentukan derajat dan efek yang merugikan penggunaan obat

Cara Perhitungan Letal Dosis

Rumus : m = a – b ( Σpi 0,5 )

m = Log LD50

a = log dosis terendah yang dapat mematikan 100% tiap kelompok

b = beda log dosis yang berurutan

Pi = jumlah hewan yang mati menerima dosis I dibagi dengan hewan seluruhnya yang menerima dosis i.

Syarat : dosis pengenceran berkelipatan tetap, jumlah hewan coba tiap kelompok harus sama, dosis diatur

METODOLOGI PENELITIAN

.

.

Persiapan Hewan Coba

The End…..

Terima Kasih.

RESUME PERKULIAHAN KEWARGANEGARAAN

OTONOMI DAERAH

Pengertian

Berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos yang berarti aturan.Jadi otonomi bisa diartikan sebagai kemerdekaan dan kebebasan menyelenggarakan pemerintahan sendiri.

Otonomi daerah menurut UU no.32/2004 : Hak,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dasar hukum otonomi daerah

Peraturan yang mengatur tentang otonomi daerah adalah :

UUD 1945 pasal 18

TAP MPR RI No.XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pusat dan Daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia

Ketetapan MPR RI No. IV/MPR/2000 tentang rekomendasi kebijakan dalam penyelenggaraan otonomi daerah.

UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

UU No. 33/2004 tentang perimbangan kekuasaan antara pemerintah pusat dan daerah

Tujuan otonomi daerah

Mengefisienkan dan mengefektifkan penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah berdaya guna dan berhasil guna

Lebih meningkatkan pelayanan kepada masyarakat

Membangun kestabilan politik dalam rangka mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa

Melibatkan masyarakat berperan dalam pembangunan

Perangkat pelaksana otonomi daerah

Perangkat pelaksana otonomi daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD.

Pemerintah daerah di Provinsi adalah Gubernur beserta perangkatnya.

Pemerintah daerah di Kabupaten adalah Bupati/Walikota beserta perangkatnya.

Asas-asas otonomi daerah

Desentralisasi : Penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system NKRI

Dekonsentrasi : Pelimpahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada gubernur sebagai wakil pemerintah pusat dan/atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu.

Tugas perbantuan : Penugasan dari pemerintah pusat kepada daerah dan/atau desa,dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas perbantuan

Hal-hal yang menjadi urusan pemerintah pusat

Hal-hal yang menjadi urusan pemerintah pusat dalam otonomi daerah :

Politik luar negeri

Pertahanan

Keamanan

Yustisi

Moneter dan fiscal

Agama

Sumber pendapatan otonomi daerah

  1. Pendapatan asli daerah (PAD) : pajak daerah, retribusi daerah, Hasil pengelolaan kekayaan daerah, lain-lain PAD yang sah
  2. Dana perimbangan : Dana bagi hasil (PBB, BPHTB,PPh, dan sumber daya alam)

Dana Alokasi Umum (DAU) : dari APBN

Dana Alokasi khusus (DAK) : dari APBN khusus hal tertentu

  1. Lain-lain pendapatan yang sah

Desa

Pemerintahan desa terdiri dari : Pemerintah desa dan Badan permusyawaratan Desa/Badan Perwakilan Desa (BPD).

Pemerintah desa terdiri dari Kepala desa dan perangkat desa.

Sumber Pendapatan Desa

  1. Pendapatan asli desa
  2. Bagi hasil pajak daerah/retribusi
  3. Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah
  4. Bantuan dari pusat/daerah
  5. Hibah/sumbangan dari pihak ketiga

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN PUBLIK

Pengertian kebijakan public

Kebijakan yang diperuntukkan bagi seluruh anggota masyarakat dalam hal penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara

Contoh kebijakan public

Mulai dari UUD sampai peraturan daerah.( UU Anti Korupsi, Retribusi parker,dsb).

Tahap-tahap penyusunan dan perumusan kebijakan public

  1. Pengidentifikasian masalah dan penyusunan agenda
  2. Penyusunan skala prioritas
  3. Perumusan (formulasi) rancangan kebijakan
  4. Penetapan dan pengesahan
  5. Pelaksanaan kebijakan
  6. Evaluasi kebijakan public

Pentingnya partisipasi masyarakat dalam perumusan kebijakan public :

    • Kebijakan public untuk kepentingan masyarakat, maka kebijakan public harus sesuai harapan masyarakat
    • Masyarakat merupakan subjek/pelaksana kebijakan public
    • Kebijakan public yang tidak sesuai aspirasi dapat menimbulkan gejolak/protes

RESUME MATERI KULIAH

PENDIDIKAN PANCASILA SEBAGAI DASAR DAN IDEOLOGI NEGARA

Pengertian Ideologi

Ideologi berasal dari kata idea : Konsep, pemikiran, gagasan dan logos : pengetahuan

Ideologi : seperangkat prinsip-prinsip yang dijadikan dasar untuk memberi arah dan tujuan yang ingin dicapai dalam melangsungkan dan mengembangkan kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.

Arti penting ideologi bagi suatu bangsa : memberi dasar arah dan tujuan bagi bangsa dan negara dalam menjalankan kehidupannya.

Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia

Masih ingat proses terbentuknya negara Indonesia sebelum proklamasi ? founding father kita merencanakan konsep sebuah negara melalui sidang BPUPKI pertama tanggal 29 Mei – 1 Juni 1945. Pada saat inilah dibicarakan konsep mengenai dasar negara. Hingga saat ini setiap tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari lahirnya Pancasila. (Walaupun sebenarnya nilai-nilai Pancasila sudah ada sejak zaman dahulu, jadi Soekarno hanya menggali saja ). Pada masa sidang itu ada beberapa usulan mengenai konsep dasar negara, diantaranya :

Usulan Muh.Yamin, lisan tanggal 29 mei 1945 :

  1. Peri kebangsaan
  2. Peri kemanusiaan
  3. Peri Ketuhanan
  4. Peri Kerakyatan
  5. Kesejahteraan social ( Keadilan social )

Usulan Muh Yamin (tertulis ) tanggal 29 Mei 1945

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Rasa persatuan Indonesia
  3. Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia

Usulan Bung Karno ( 1 Juni 1945 )

  1. Kebangsaan
  2. Internasionalisme atau perikemanusiaan
  3. Mufakat atau demokrasi
  4. Kesejahteraan social
  5. Ketuhanan Yang Maha Esa

Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI menyetujui naskah rancangan pembukaan UUD 1945 yang disebut Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Nah didalam rancangan pembukaan ini memuat rancangan dasar negara Pancasila yang isinya :

  1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaran perwakilan
  5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia

Karena sebelum sidang PPKI pertama tanggal 18 Agustus PPKI mengadakan rapat kecil yang mengubah rumusan pancasila versi Piagam Jakarta, maka rumusan Pancasila yang disetujui adalah sebagai berikut :

  1. Ketuhanan Yang Maha Esa
  2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
  3. Persatuan Indonesia
  4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dalam permusyawaratan/perwakilan
  5. Keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia

Nah ternyata panjang juga ya proses terbentuknya Pancasila sebagai dasar negara!

Pada hakikatnya kelima sila dalam pancasila saling berhubungan satu sama lain. Atau setiap sila dalam Pancasila dijiwai oleh sila-sila yang lain.

Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara

Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam buku Negara Kertagama karangan Mpu Prapanca pada tahun Saka 1478 atau 1365 Masehi. Buku ini menceritakan tentang kejayaan Majapahit dibawak kepemimpinan Hayam Wuruk dengan patihnya yang terkenal yaitu Gajah Mada.

Pancasila sebagai ideologi terbuka

Pancasila sebagai ideologi terbuka berarti ideologi yang tidak dipaksakan dari luar tetapi terbentuk justru atas kesepakatan masyarakat, sehingga merupakan milik masyarakat.

Perbandingan ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya

No

Komunisme

Pancasila

Liberalisme

1

Atheis

Monotheisme

Sekuler

2

HAM diabaikan

HAM dilindungi tanpa melupakan kewajiban asasi

HAM dijunjung secara mutlak

3

Nasionalisme ditolak

Nasionalisme dijunjung tinggi

Nasionalisme diabaikan

4

Keputusan ditangan pimpinan partai

Keputusan melalui musyawarah

Keputusan melalui voting

5

Dominasi partai

Tidak ada dominasi

Dominasi mayoritas

6

Tidak ada oposisi

Ada oposisi dengan alasan

Ada Oposisi

7

Tidak ada perbedaan

Ada perbedaan pendapat

Ada perbedaan pendapat

8

Kepentingan negara

Kepentingan seluruh rakyat

Kepentingan mayoritas

Sikap positif terhadap Pancasila

Dalam kehidupan politik

  1. Mengemukakan pendapat secara bebas dan bertanggungjawab
  2. Menyelenggarakan pemilu dengan baik dan penuh tanggung jawab
  3. Menjalankan kegiatan pemerintahan dengan jujur dan konsekuen

Dalam kehidupan ekonomi

  1. Memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya
  2. Menghilangkan gangguan dalam ekonomi (korupsi,kolusi,monopoli,dll)
  3. Membuat peraturan yang memperkuat perekonomian (UU Antimonopoli,dll)

Dalam kehidupan social

  1. Sila pertama : Menghargai dan menghormati antar pemeluk agama
  2. Sila kedua : Membantu sesame
  3. Sila ketiga : Mengutamakan persatuan/kerukunan
  4. Sila keempat : Mengutamakan musyawarah
  5. Sila kelima : Menjaga keseimbangan hak dan kewajiban