Jumat, 03 April 2009

PEMILU 2009 : Pendemokrasian Totaliter Atau Penghancuran Sistemik Bangsa

Oleh : Khairulnas, SH Sutan Basa Batuah
/Alumni FH UMSB
/Alumni PKPA UBH
/ Mahasiswa Pasca Sarjana Program Magister Kenotariatan UGM




Kembali datang, PEMILU. Ya, inilah pesta yang dinantikan para caleg kita, konon katanya PEMILU merupakan salah satu pilar dari Negara yang dikatakan DEMOKRASI. Pemilu merupakan sarana kedaulatan tertinggi dari rakyat untuk menentukan keberlangsungan dari Negara. Semakin aktif rakyat terlibat didalam proses pemilu maka semakin kuat legitimasi kekuasaan Negara yang dimanifestasikan melalui lembaga eksekutif dan legislative. Sebagai sarana menuju demokrasi maka system dari pemilu yang dilakukan merupakan tolak ukur tingkat kedemokrasian dari suatu Negara, disamping adanya kebebasan pers, pemisahan legislative, eksekutif, yudikatif, dan perlindungan HAM.
Demokrasi merupakan bahasa yang kita impor dari budaya barat, ia terdiri dari dua kata, demos dan kretos, yang artinya pemerintahan rakyat. Inilah konsep baku dari demokrasi, segala sesuatu dibuat, dilaksanakan, dipikirkan atas nama pemerintahan rakyat. Pengertian diatas dapat kita simpulkan lagi menjadi pemerintahan dan rakyat. Artinya apa, antara pemerintahan dan rakyat ada perbedaan yang signifikan, ada batas, ketika terjadi tarik-menarik kepentingan, ketika dimenangkan oleh salah satu pihak-apakah pemerintahan atau rakyat-maka berlakulah yang dinamakan siklus polybius atau lingkaran setan, ketika siklus ini dimenangkan oleh rakyat, dibentuklah Negara yang dinamakan demokrasi.
Para ahlipun menyatakan bahwa bentuk Negara yang cocok itu adalah demokrasi, segala sesuatu atas kemaun rakyat. Kita setuju, akan tetapi ada penampakan yang tidak kita dukung, ketika terjadi tarik-menarik guna adanya legitimasi yang kuat bagi pemerintahan, yang diwujudkan oleh segelintir orang maka rakyat diberdayakan dengan segala trik, seperti halnya PEMILU 2009 yang sebentar lagi kita laksanakan.
PEMILU 2009 merupakan tolak ukur Negara kedepan, yang membanggakan kita, pemilu yang akan datang ini sangatlah demokratis sekali, siapapun bisa menjadi CALEG, tidak ada perbedaan fisik, yang ada, kepentingan abadi. Dan Mahkamah Konstitusipun mendukung hal ini dengan mencabut pasal-pasal yang bisa menghambat kemampuan apresiasi seorang calon legislative (caleg) dalam memperoleh kursi dewan yang terhormat. Akibatnya, para caleg-pun ada yang surprise karena dia akan bisa menduduki kursi dengan kemampuannya sendiri dan ada juga yang kecewa karena harapan untuk dapat genjotan suara dari bawah tidak lagi bisa didapat, dan perempuanpun kembali setara dengan laki-laki dalam pencalegan.
Dagelan yang terjadi ini, jika kita sikapi dengan arif maka akan tampak nuansa penampakan yang kelam. Kenapa?, ini terjadi karena kita begitu terpesona dengan kedemokrasian yang kita junjung sehingga ada juga yang berslogan Indonesia adalah negara yang paling demokrasi. Kita terperdaya dengan system yang ada, yang menjunjung kebebasan hak, terutama dalam pencalegan. Padahal ini hanya semu, kita terperangkap dalam pemikiran sendiri.
Mari kita renungkan, sebuah kisah tentang kebenaran kecil dan kebenaran besar yang disampaikan ulang oleh Presiden RI ketika memperingati hari Pers Nasional beberapa hari yang lalu. Ketika dua oranng berdebat mengenai masalah jumlah angka yang benar dari hasil perkalian 6 X 4, yang tidak perlu diragukan lagi hasilnya adalah benar 24, namun hasil ini akan menjadi kebenaran kecil ketika hasil tersebut dikatakan 23 oleh seorang yang mau memotong kepalanya jika jawabannya salah, dan ini akan bernilai kebenaran besar ketika perkalian tadi berjumlah 23, karena disana akan terselamatkan sebuah kehidupan.
Nah, kenapa kisahnya harus ini?!!, karena kita baru bisa memahami pada kebenaran kecil saja, yaitu adanya keleluasaan dalam mengekspresikan PEMILU 2009, suara terbanyak. Kita terperangkap pada proses, akan tetapi kita tidak mengarah kepada hasil dari proses yang didapat nantinya, yaitu masyarakat adil dan makmur. Efek sampingnya adalah kebenaran besar yang kita citakan bersama akan bertambah lambat tercapai, karena kita terlalu mengagungkan kebenaran kecil tadi. Kebenaran kecil tadi akan menghasilkan PEMILU 2009 yang kurang berkualitas karena melalui prosesnya telah bisa kita tebak, akhirnya banyak anggota dewan kita yang tidak bekerja maksimal dalam memperjuangkan cita –cita tadi, masyarakat adil dan makmur.
Proses tersebut tidak saja menghasilkan kompetisi antar partai politik yang ada akan tetapi sampai juga kepada kompetisi antar individu dalam satu partai, belum lagi sorotan pendidikan para caleg dan pengalamannya yang minim. Dengan ini kita sudah bisa menangkap, apakah pemilu 2009 merupakan sarana pencapaian demokrasi yang totaliter atau hanya sekedar bagi penghancuran secara sistemik terhadap keutuhan NKRI. Dan karakter bangsa kita juga tidak bisa disamakan dengan Negara pembawa demokrasi tersebut, Kita berwatak komunalistik bukan individualistic.
Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat tertinggi mengharapkan terciptanya kepemimpinan menuju masyarakat adil dan makmur bukan pemerintahan buat segelintir orang. Pemilu 2009 merupakan tolak ukur bangsa kedepan, kita mau menyukseskannya akan tetapi yang kita sukseskan tersebut renungan akhirnya adalah kebenaran kecil saja, bukan masyarakat adil makmur sebagai kebenaran besar. Kalau begitu, bagaimana mencapai kebenaran besar tersebut?, mari kita benahi system kita, aturan main kita rombak. Alangkah baiknya kita kembali menghidupkan utusan daerah atau pencalegan kedepan sistemnya dirombak menjadi “system lamaran”, kita buat aturan, siapa yang ingin mencaleg melamar kepada lembaga khusus, lalu adakan test and profit test, buat criteria bahwa caleg minimal sarjana dengan penghasilan diatas rata-rata dan yang terpenting sanggup memakmurkan rakyat. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PAN DAPEK DUN SANAK